Kesalahan besar para pengelola institusi pendidikan adalah sikapnya yang malu-malu untuk mengatakan bahwa mereka sedang melakukan suatu usaha atau bisnis. Perkataan bisnis yang sering diartikan orang sebagai “dagang” (dan ini salah!) ditelan mentah-mantah dan kemudian dengan lantangnya mereka mengatakan bahwa “kami tidak berbisnis.” Akibatnya, mereka mempunyai legitimasi untuk boleh rugi, tidak berkembang, seadanya, dan bahkan ketidak-cukupan.
Beberapa institusi pendidikan yang ‘lebih cerdas’ melakukan praktek bisnis namun mereka berpura-pura sedang tidak berbisnis karena dunia pendidikan dianggap ‘musuh gelap’ dunia bisnis. Kelompok ini menerapkan konsep bisnis tetapi setengah-setengah. Akibatnya, institusi semacam ini sangat sering ditunggangi oleh pihak-pihak yang mengambil ‘kesempatan dalam kesempitan’. Institusi pendidikan dijadikannya sebagai sapi perah untuk misi pribadinya.
Yang akan diluruskan disini adalah paham tentang bisnis hanya sebagai “dagang” seperti halnya toko kelontong adalah salah. Berbisnis adalah melakukan kegiatan untuk mendapatkan “benefit” (manfaat) dengan “cost” (pengorbanan) tertentu. Bisnis yang sehat adalah yang benefitnya lebih besar dari pada costnya. Dengan demikian kegiatan bisnis adalah kegiatan “memberi”, kegiatan mencari manfaat, kegiatan yang harus dilakukan secara berhati-hati (agar cost tidak melebihi benefitnya). Agama Islam bahkan mengajak umatnya untuk melakukan kegiatan yang menuai manfaat agar kita tidak termasuk golongan orang-orang yang merugi. Jadi jangan terjerumus pada paham bahwa institusi pendidikan adalah institusi yang harus dikasihani, harus terus diberi, dan dimaklumi kalau tidak berkembang. Dengan kata lain, institusi pendidikan harus dikelola secara “bisnis” dalam arti yang benar.
Agung Praptapa
Friday, April 3, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Tidak! Itu jawaban saya. Pendidikan itu Bisnis -- jika "Berbisnis adalah melakukan kegiatan untuk mendapatkan “benefit” (manfaat) dengan “cost” (pengorbanan) tertentu" menurut Pak Agung. Tanpa memetik manfaat, diiringi pengorbanan (biaya & waktu utk pengembangan SDM, sarana prasarana, dll.) yang berbanding lurus, rasanya mustahil sistem pendidikan bisa berjalan. Jadi, mengapa tidak kita mulai saja mem-bisnis-kan pendidikan?
ReplyDeleteSEPTRIWI ANTARSARI
MM Unsoed angkatan 24
salahkah bisnis pendidikan?
ReplyDeletekening saya terangkat sebentar ketika membaca pertanyaan diatas... mengapa tidak? terus terang saya salah satu dari sekiat juta kepala yang cinta pada dunia pendidikan... kalau pa Agung katakan bisnis adalah hidupnya, saya katakan "pendiikan adalah way of my life".
Keraguan untuk mengatakan salah atau tidak terlanjur saya berikan karena terminologi bisnis telah menjadi khusus di tengah masyarakat kita. bisnis berarti "mendapatkan keuntungan yang maksimal dengan usaha yang minimal" sedikit berbeda dengan terminologi yang dilontarkan pa Agung.. mulailah kening saya sedikit turun..
Kening saya kembali naik walaupun tak setinggi waktu pertanyaan diatas terbaca.. benarkah dan atau bisakah kita mendeskripsikan dan bahkan menjalankan pendidikan sebagaimana terminologi "mulia" untuk memajukan dunia pendidikan agar mandiri dan bermartabat..?? permasalahanya adalah karakter dunia pendidikan yang saya rasakan "mudah-mudahan salah" digiring untuk menciptakan manusia dengan karakter bisnis dengan terminologi awam sehingga akhirnya bermuara pada titik awal yang lepas dari tujuan pendidikan yang substantif bahkan sekedar memenuhi hajat bisnis pribadi... singkatnya tujuan "bisnis dunia pendidikan yang mulia" runtuh dengan kembali kepada "dunia bisnis" inilah yang dikhawatirkan terutama oleh rekan-rekan mahasiswa yang sedikit menolak bila toh akhirnya dunia pendidikan hanya menhasilkan manusia yang berfikiran "bisnis awam" dan tidak berfikiran "bisnis pa Agung"
salam hangat
fahmi aliansyah
MM Unsoed angkatan 25
Dunia pendidikan kita memang lain-dari yang lain,mengapa?Kalau saya liat dan mungkin juga keluarga-keluarga yang lain memang ada program sekolah gratis dari sd sampai dengan smp dan mungkin sma.Saya juga merasakannya/menikmatinya.Apa yang dilontarkan dari pak Agung memang benar bahwa sekolah melakukan bisnis seperti jualan toko kelontong yang menguntungkan segelintir orang.Kalau saya liat di iklan TV bahwa murid juga bisa menyumbang yang artinya ada waktu yang membatasi dan jumlahnya terserah pada kemampuan wali murid.Tapi dilapangan keadaanya lain, apalagi kalau sudah diatasnamakan komite sekolah melalui musyawarah dengan dewan guru.Besarnya sumbangan sudah ditentukan rp nya.Apakah ini arti sumbangan di atas?Kalau saya amati guru sekarang juga lain dengan guru jaman dulu yang penuh pengabdian.Sekarang guru saja sudah demo, terus gimana muridnya?Jadi memang pendidikan sekarang yang disebut bisnis (dalam arti sempit) dagang memang terjadi.Saya sedih kalau melihat disekitar saya orang-orang yang tidak mampu tidak bisa meneruskan sekolah dari smp ke sma yang sekarang menyebutnya klas berapa saya juga tdk tahu,mereka tidak punya biaya padahal merubah keadaan mereka salah satunya lewat pendidikan.Saya juga masih tanda tanya dana BOS digunakan untuk apa? Saya pernah baca jurnal di salah satu koran bahwa BOS diduga bocor 30%.Padahal guru sekarang sudah lebih baik penghasilannya lewat tunjangan sertifikasi dan mungkin tunjangan fungsional.Sudah saatnya lewat tindakan mulai dari sendiri bahwa pendidikan harus berubah sebagai bisnis dalam arti yang luas kalau boleh saya menyebutnya yaitu "bisnis"nya Pak Agung.
ReplyDeleteGood Evening,my Handsome Lecturer, Mr,Agung, Would you like to hear my opinion about your
ReplyDeleteopinion?I'm SRI PUJIASTUTI, MM 25.
JER BASUKI MAWA BEA
Saya seorang guru Pak, tapi Alhamdulillah, saya
juga seorang pedagang barang kelontong. Kalau menurut saya, pendidikan MESTI DAN HARUS menjadi bisnis, baik dalam arti bisnis sebagai urusan yang harus memberi manfaat maupun bisnis dalam arti sempit 'dagang'. Bisnis dalam arti luas, jelas sekolah bukan hanya mengajar tapi lebih dari itu mendidik, menyiapkan generasi muda berkaraktek 'good citizenship'.
Bisnis dalam arti sempit, sebagaimana orang awam bicara,'dagang', meraup keuntungan, mengapa tidak, di tengah -tengah keterbatasan
sarana dan prasrana sekolah yang menuntut segera diadakan. Di tengah-tengah banyaknya tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang dihargai, tidak lebih dari upah seorang buruh, bahkan kurang dari itu.
Lihatlah 75% tenaga pendidik di sekolahku. Mereka dibayar seperempat dari satu yang harus dibayarkan. Mengapa seperempat? Karena satu jam pelajaran dihitung empat kali pertemuan. Berapa mereka dibayar? 1 jam pelajaran tidak lebih dari duapuluh ribu rupiah. Hitung bila seorang guru honorer mengajar 20 jam pelajaran. Ditambah 'tunjangan' wali kelas tujuhpuluh lima ribu rupiah, UMR mana
yang menandingi?
Sekolah ber'bisnis' dalam arti sempit perlu dan harus selama pemerintah belum bisa mewujudkan 20% anggaran pendidikan. DENGAN PRINSIP KEADILAN. Keadilan itu bukan sama rata
tapi melihat kemampuan orangtua peserta didik.
DENGAN PRINSIP KEWIRAUSAHAAN, memberdayakan siswa ber'bisnis', mengapa tidak. DENGAN PRINSIP 'KEMITRAAN', CSR. Dsj.
Sekolah ber'bisnis' untuk kepentingan pribadi 'sang manajer', itu yang harus kita kutuk bersama-sama.
Maaf pak Agung, saya Nunung Hartini, MM angkatan 25, menurut saya orang/institusi yang melakukan bisnis pendidikan harusnya membaca artikel ini membaca artikel ini, biar gamblang. Tapi kira-kira mereka baca ga yaaa? Sukses buat pak Agung
ReplyDelete